Kamis, 10 Desember 2015

EL NINO





Fenomena El-Nino


El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim.
Dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di sekitar Indonesia (pasifik equator bagian barat) umumnya hangat dan karenanya proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. Namun ketika fenomena el-nino terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan timur menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu (menyimpang dari biasanya). Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia.
Fenomena el-nino diamati dengan menganalisis data-data atmosfer dan kelautan yang terekam melalui weather buoy yaitu suatu alat perekam data atmosfer dan lautan yang bekerja otomatis dan ditempatkan di samudra. Di samudra pasifik, setidaknya saat ini terpasang lebih dari 50 buah buoy yang dipasang oleh lembaga penelitian atmosfer dan kelautan Amerika (National Oceanic and Atmospheric Administration-NOAA) sejak 1980-an. Dengan alat-alat inilah kita mendapatkan data suhu permukaan laut sehingga bisa melakukan pemantauan terhadap kemunculan fenomena el-nino.
Fenomena el-nino bukanlah kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Proses perubahan suhu permukaaan laut yang biasanya dingin kemudian menghangat bisa memakan waktu dalam hitungan minggu hingga bulan. Karena itu pengamatan suhu permukaan laut juga bisa bermanfaat dalam pembuatan prediksi atau prakiraan akan terjadinya el-nino, karena kita bisa menganalisis perubahan suhu muka laut dari waktu ke waktu. Di BMKG, pemantauan terhadap fenomena el-nino juga dilakukan dengan memanfaatkan data dari buoy-buoy tersebut. Pemantauan ini dilakukan dengan membuat peta perkembangan suhu lautan baik sebaran spasial (lintang-bujur) maupun irisan vertikal yaitu peta suhu laut untuk beberapa tingkat kedalaman. Produk-produk analisis ini tersedia di web resmi BMKG.

Dampak El-Nino


Pusat prakiraan iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena el-nino, 6 kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Intensitas el-nino secara numerik ditentukan berdasarkan besarnya penyimpangan suhu permukaan laut di samudra pasifik equator bagian tengah. Jika menghangat lebih dari 1.5 oC, maka el-nino dikategorikan kuat.
Sebagian besar kejadian-kejadian el-nino itu, mulai berlangsung pada akhir musim hujan atau awal hingga pertengahan musim kemarau yaitu Bulan Mei, Juni dan Juli. El-nino tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 adalah dua kejadian el-nino terhebat yang pernah terjadi di era modern dengan dampak yang dirasakan secara global. Disebut berdampak global karena pengaruhnya melanda banyak kawasan di dunia. Amerika dan Eropa misalnya, mengalami peningkatan curah hujan sehingga memicu bencana banjir besar, sedangkan Indonesia, India, Australia, Afrika mengalami pengurangan curah hujan yang menyebabkan kemarau panjang.
Di Indonesia, masih jelas dalam ingatan kita, pada tahun 1997 terjadi bencana kekeringan yang luas. Pada tahun itu, kasus kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian internasional karena asapnya menyebar ke negara-negara tetangga. Kebakaran hutan yang melanda banyak kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan saat itu, memang bukan disebabkan oleh fenomena el-nino secara langsung. Namun kondisi udara kering dan sedikitnya curah hujan telah membuat api menjadi mudah berkobar dan merambat dan juga sulit dikendalikan. Di sisi lain, kekeringan dan kemarau panjang juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi kebutuhan tanaman.
Publikasi-publikasi ilmiah menunjukkan bahwa dampak el-nino terhadap iklim di Indonesia akan terasa kuat jika terjadi bersamaan dengan musim kemarau, dan akan berkurang (atau bahkan tidak terasa) jika terjadi bersamaan dengan musim penghujan. Dampak el-nino juga ternyata berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain, bergantung pada karakteristik iklim lokal. Oleh karena itu, menjadi menarik bagi para analis iklim untuk memperhatikan sebaran dampak el-nino dari bulan ke bulan (khususnya di musim kemarau) dan dari satu lokasi ke lokasi lain, berdasarkan catatan kejadian el-nino di masa lalu. Analisis semacam ini bisa dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan terkait dampak elnino, misalnya saja dalam kebijakan tentang ketahanan pangan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan gelombang panas El Nino akan menyerang wilayah Indonesia sampai November 2015. El Nino yang menyerang wilayah Indonesia berjenis El Nino moderat. Berdasarkan hasil monitoring BMKG, perkembangan El Nino sampai Juni menunjukkan El Nino moderat. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung sampai November dan berpeluang untuk menguat (WMO, 2015). Daerah-daerah yang berpotensi terkena dampak El Nino meliputi Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Managemen dampak bersifat eksklusif dan hanya dapat dilakukan bila ada intervensi struktural untuk meringankan beban masyarakat yang terkena bencana iklim. Artinya langkah ini menjadi domain pemerintah provinsi, kota dan kabupaten sebagai eksekutor di wilayah masing-masing. Managemen dampak tersebut antara lain: (1) membentuk tim pokja penanggulangan bencana iklim; (2) mengalokasikan dana tanggap darurat untuk menanggulangi bencana iklim, yang juga dapat dikembangkan dalam bentuk asuransi resiko pertanian; (3) menginstruksikan untuk melakukan upaya ekstraktif memanfaatkan kekayaan pangan lokal, seperti sagu secara arif; (4) meningkatkan transfer air antar wilayah menggunakan saran dan prasarana yang telah disiapkan, termasuk transfer air baku untuk konsumsi; (5) melakukan pelarangan terhadap kegiatan budidaya pertanian tanaman semusim (pangan dan sayuran) pada daerah-daerah terkena dan rawan kekeringan; (6) menetapkan langkah cepat pembagian air secara proporsional (water sharing) untuk kebutuhan rumah tangga, industri, parawisata dan pertanian dalam satu kawasan DAS; dan (7) menyiapkan stok beras bersubsidi (rasdi) pada wilayah wilayah terkena kekeringan dan bencana iklim, yang dihitung berdasarkan kecukupan kalori per kapita. Ke 2 kelompok strategi tersebut di atas harus dilengkapi dengan instruksi Gubernur, Bupati dan Walikota agar memiliki payung dan kekuatan hukum tetap serta memberi kepastian dan efektif dalam implementasinya.
El Nino tidak harus selalu diartikan membawa bencana, karena pada wilayah wilayah yang memiliki rawa lebak, lahan pasang surut, lahan tergenang (polder) dan sejenisnya, El Nino justru memberi kesempatan untuk melakukan perluasan areal tanam. Selain itu terdapat tanaman perkebunan dan buah-buahan pada musim kering yang tegas akan memberikan hasil yang tinggi, seperti tebu, kelapa, dan mangga. Di masa yang akan datang dengan makin meningkatnya jumlah penduduk, alat transportasi, deforestasi, dan zona industri, suhu udara diperkirakan akan meningkat 1.0-4.5oC dan semakin memicu anomali atau perubahan iklim. Tidak ada cara lain, tindakan seperti “pemadam kebakaran” harus sudah diganti dengan tindakan yang didasarkan pada program antisipasi jangka menengah dan panjang, seperti memulainya dengan menyusun blue print atau road map rencana adaptasi spesifik lokasi untuk 5 hingga 20 tahun yang akan datang agar tercipta ketahanan terhadap perubahan iklim.

2 komentar:

  1. ini topik yang mau dibuat presentasi sains kebumian maul?

    BalasHapus
  2. ini topik yang mau dibuat presentasi sains kebumian maul?

    BalasHapus